Zakat Perdagangan


ZAKAT PERDAGANGAN
Ketentuan zakat perdagangan ini adalah tidak ada nisab, diambil dari modal (harga beli), dihitung dari barang yang terjual sebesar 2,5%.
Adapun waktu pembayaran zakatnya, bisa ditangguhkan hingga satu tahun, atau dibayarkan secara periodik (bulanan, triwulan, atau semester) setiap setelah belanja, atau setelah diketahui barang yang sudah laku terjual. Zakat yang dikeluarkan bisa berupa barang dagangan atau uang seharga barang tersebut.

“Rosululloh SAW bersabda: “Wahai para pedagang, sesungguhnya jual beli itu selalu dihadiri (disertai) kemaksiatan dan sumpah oleh karena itu kamu wajib mengimbanginya dengan sedekah (zakat).” (H.R. Ahmad)

“Adalah Rosululloh SAW menyuruh kami mengeluarkan zakat dari apa yang telah disediakan untuk dijual.” (H.R. Abu Daud)

Contoh Kasus:
Seorang pengusaha clothing membuat t-shirt sebagai modal untuk dijual. Jumlah t-shirt yang dibuat adalah 120 pcs. Modal 1 pcs t-shirt sebesar Rp. 25.000,-. T-Shirt yang terjual sebanyak 100 pcs, maka zakat yang harus dikeluarkan adalah sebagai berikut:
2,5% x 100 pcs = 2,5 pcs.
2,5 pcs x Rp. 25.000,- = Rp. 62.500,-.
Ada juga yang menghitung dari modal keseluruhan dan langsung mengeluarkan zakatnya setelah belanja, tanpa memperhatikan apakah barangnya terjual atau tidak. Maka dalam hal ini mengeluarkan zakat dengan jumlah yang lebih banyak akan jauh lebih baik di sisi Alloh SWT.

Namun terkadang, 2,5% dari modal tersebut tidak seimbang dengan pendapatan keuntungan. Sehingga zakat yang harus dikeluarkan lebih besar dari keuntungan yang didapat. Seperti contoh pedagang voucher pulsa HP (Handphone) dengan modal Rp. 100.000,- dia menjual voucher seharga 102.000,-. Sehingga keuntungannya sebesar Rp. 2.000,- Padahal zakat yang mesti dikeluarkan adalah Rp. 2.500,- (2,5% x Rp. 100.000,-), jika zakatnya ditunaikan tentunya ia akan rugi.
Pada prinsipnya islam tidak bermaksud menyulitkan tapi justru memudahkan, untuk kasus seperti diatas, tidak berarti pedagang itu bebas dari kewajiban zakat, namun tetap mengeluarkan zakat sesuai dengan kemampuannya, dengan catatan tetap memegang kejujuran. Rosululoh SAW pernah berbada:

“Apabila kamu diperintah sesuatu, maka kerjakanlah sekemampuan kamu.” (H.R. Bukhori)

Alloh SWT juga befirman yang artinya:

“Maka bertaqwalah kepada Alloh sekemampuanmu, dengarlah, ta’atlah, dan infakkanlah hartamu untuk kebaikan, karena barang siapa selamat dari kebakhilan dirinya maka mereka itu ialah orang-orang yang mendapat kejayaan”. (Q.S. At-Thagobun: 16)

Abu kilabah menjelaskan, bahwa pada zaman Khalifah Umar ada beberapa gubernur melaporkan kepadanya bahwa banyak para pedagang mengeluh karena jumlah zakat yang mesti dibayarkan terlalu banyak/besar. Maka Umar berkata: “Ringankanlah!”. Kasus yang disebutkan diatas, tidak berarti kadar zakat perdagangan berubah dari 2,5% menjadi 1% misalnya, tetapi itu hanyalah sebuah kedaruratan dalam kasus tertentu.
Namun, pada kasus lain, justru 2,5% dari modal itu terasa ringan, seperti barang dagangan dengan modal Rp. 25.000,- tapi dijual seharga Rp. 75.000,- maka zakatnya begitu ringan dibanding keuntungan yang diraih. Dalam hal ini, karena zakat merupakan ta’abbudi, bukan ta’aqquli (rasional), maka keimanan yang menjadi dasar seseorang mampu mengeluarkan zakat, bukan besar-kecilnya keuntungan yang diraih.

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *